Tradisi dan Budaya Suku Masyarakat Sumbawa

Tradisi dan Budaya Suku Masyarakat Sumbawa

Tradisi dan Budaya Suku Masyarakat Sumbawa – Budaya-budaya unik dari berbagai suku di Indonesia memang menarik starlight princess 1000 untuk dipelajari. Budaya unik dari salah satu kepulauan Indonesia bagian Timur dimiliki oleh Nusa Teggara Timur tepatnya Sumba. Sumba adalah salah satu pulau yang terletak di bagian selatan Indonesia yang sangat terkenal akan keindahan alam, adat istiadat serta budayanya. Tak heran, keindahan alam dan tradisi yang masih sangat kental menjadikan Pulau yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini menjadi target para wisatawan baik wisatawan domestik bahkan mancanegara.

Suku Sumba, yang juga dikenal sebagai orang Marapu, adalah masyarakat adat yang tinggal di pulau Sumba di Indonesia. Suku ini dikenal dengan budaya yang unik, kepercayaan tradisional, dan kerajinan tangan yang memukau. Mereka telah tinggal di pulau ini selama ribuan tahun, dan budaya mereka sama kayanya dengan usianya. Para ahli genetika percaya bahwa mereka pertama kali mendiami pantai utara Pulau Sumba pada masa Neolitikum, sekitar tahun 4000 SM. Struktur megalitikum telah dibuat sejak dulu hingga sekarang oleh orang-orang yang hidup selaras dengan alam dan lingkungannya.

Baca Juga : Festival Budaya dari Thailand yang Cukup di Kenal

Tradisi “pahillir”

Tradisi unik lain orang Sumba yang belum terlalu diketahui oleh orang banyak adalah “tradisi Pahillir” atau dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan “tradisi menghindar”. Tradisi ini merupakan larangan keras yang tidak memperbolehkan “anak mantu perempuan dan ayah mertuanya atau anak mantu laki-laki dan ibu mertuanya”  atau “istri ipar dan anak mantu laki-laki” berkomunikasi apalagi bersentuhan secara langsung, bahkan barang-barang milik masing-masing pun tidak boleh disentuh. Bagi Orang Sumba hal tersebut adalah “tabu” dan tidak pantas dilakukan, sehingga ketika mereka bertemu, maka mereka harus “menghindar” atau dalam Bahasa Sumba Timur dikenal dengan istilah pahilir.  Dalam kehidupan sehari-hari, untuk menghindari kontak langsung antara mertua dengan menantu yang berbeda jenis kelamin, biasanya aktivitas dilakukan melalui perantara. Atau kalau terpaksa terutama ketika tidak ada perantara, misalnya untuk melayani makan minum maka biasanya anak mantu menyimpannya di tempat yang bisa dilihat oleh ayah atau ibu mertuanya yang pahilir, lalu biasanya ayah/ibu mertuanya slot server kamboja winrate tertinggi mengerti bahwa itu untuk dia. Makna dari tradisi “pahilir” adalah perlu adanya jarak dalam relasi sehingga tidak memicu hubungan-hubungan yang terlarang.

Tradisi “nyale” dan pasola

Nyale atau mencari cacing laut adalah tradisi yang wajib dilakukan untuk mendahului tradisi Pasola. Dikutip dari Wikipedia Indonesia tradisi nyale adalah salah satu upacara rasa syukur atas anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai. Adat tersebut dilaksanakan pada waktu bulan purnama dan cacing-cacing laut/nyale keluar di tepi pantai. Bila nyale tersebut gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan panen yang berhasil. Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka. Setelah tradisi nyale dilakukan pada malam hari, maka pada keesokan harinya akan diadakan tradisi Pasola. Pasola adalah atraksi menunggang kuda dan dilakukan saling melempar tombak antar dua kelompok yang berlawanan. Tombak yang digunakan juga bukan tombak yang tajam, namun tetap saja akan ada yang terluka, entah kuda tunggangan ataupun para peserta pasola. Jika dalam tradisi itu ada peserta pasola yang terluka dan ada darah yang tercucur dianggap berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panen.

Tradisi belis

Belis merupakan tradisi penyerahan mas kawin oleh pihak pria kepada pihak wanita. Belis dalam adat Orang Sumba bisa berupa ternak seperti kuda dan kerbau. Besarnya belis seorang Wanita Sumba biasanya tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak.  Jika yang akan dinikahi adalah wanita dengan status sosial tinggi, maka hewan yang diberikan mencapai 30 ekor. Untuk rakyat biasa sekitar 5-15 ekor, dan untuk golongan yang lebih bawah lagi (disebut dengan hamba atau ata) dibayar oleh tuan (disebut maramba) mereka. Selain itu, penyerahan belis juga dapat berupa mamuli. Mamuli adalah perhiasan yang biasanya terbuat dari emas. Mamuli sendiri memiliki simbol gambaran rahim atau simbol kemampuan reproduksi wanita. live baccarat online Kemudian, pihak wanita akan membalas pemberian pihak pria tersebut dengan ternak berupa babi, sarung dan kain khas Sumba.

Selain itu, pihak wanita pun harus menyiapkan perhiasan (dikenal dengan hada) dalam Bahasa Sumba Timur, sarung, dan perlengkapan rumah tangga untuk anak gadis mereka. Bahkan pihak wanita yang berasal dari garis keturunan bangsawan biasanya memberikan hamba atau dikenal dengan dengan “ata: pada anak gadis mereka. Hal ini menjadi kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan dan tentunya akan mempengaruhi jumlah belis yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Biasanya ketika seorang gadis Sumba membawa hamba/ata dari keluarganya, maka jumlah belis yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan pun semakin besar.

Tradisi Kawin antara Sepupuan

Satu hal lagi yang cukup unik dari Orang Sumba adalah mengenai tradisi perkawinan sedarah antara “anak om dan anak tante” (sepupuan) yang diperbolehkan bahkan sangat dianjurkan. Tradisi ini dilakukan dengan tujuan agar semakin mempererat hubungan kekeluargaan.Misalnya, anak laki-laki dari seorang perempuan Sumba boleh menikahi anak gadis dari saudara laki-lakinya. Pada umumnya, perkawinan sedarah merupakan hal yang tidak wajar bagi kebanyakan orang, namun menjadi wajar dan sah-sah saja bagi orang Sumba.Tradisi ini bukanlah menjadi suatu kewajiban yang harus ditaati oleh orang Sumba. Namun jika ada hubungan antara “anak om dan anak tante” (sepupuan) yang sedang terjalin, maka bagi orang Sumba hubungan tersebut sangat diperbolehkan.

Tradisi Cium Hidung

Tradisi unik yang bisa ditemukan ketika berkunjung ke Pulau Sumba adalah tradisi cium hidung atau “pudduk” (dalam bahasa Sumba Timur). Tradisi ini merupakan tradisi yang sudah diwariskan turun temurun oleh leluhur orang Sumba. Tradisi cium hidung bagi Orang Sumba merupakan simbol kekeluargaan dan persahabatan yang sangat dekat. Selain itu, jika ada pihak yang berseteru dan ingin berdamai, maka akan dilakukan cium hidung yang merupakan simbol perdamaian.

Tradisi cium hidung dilakukan dengan cara menempelkan dua hidung yang mengisyaratkan bahwa dua individu seakan sangat dekat dan tidak ada jarak. Walaupun tradisi cium hidung ini sudah menjadi adat istiadat dan kebiasaan bagi Orang Sumba, namun tradisi ini tidak dapat dilakukan pada sembarang tempat dan waktu. Tradisi ini dapat dilakukan hanya dalam acara-acara tertentu, seperti saat proses pelaksanaan tradisi perkawinan, pesta pernikahan, ulang tahun, hari raya besar keagamaan, pesta adat, kedukaan dan acara perdamaian.